Lokalisme
  • Tentang Kami
    • Siapa Kami
    • Tim Kerja
  • Barat
  • Tengah
  • Timur
  • Warlok
  • Berkontribusi
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Lokalisme
  • Tentang Kami
    • Siapa Kami
    • Tim Kerja
  • Barat
  • Tengah
  • Timur
  • Warlok
  • Berkontribusi
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Lokalisme
  • Tengah | Warlok

Masyarakat Pulau Komodo dan Kisah di Baliknya

Kesadaran kolektif tersebut bermula dari sebuah keyakinan yang terbentuk lewat folklor lisan dari para pendahulu yang telah menjelma ikatan yang kuat. Komodo adalah saudara, keluarga.

  • Oktober 28, 2020
  • M. Fachrizal Helmi
Share on FacebookShare on Twitter

Siapa yang tidak kenal dengan Komodo? Atau, ada juga yang menyebutnya dengan istilah “Biawak Komodo” alias “The Komodo Dragon“. Hewan ini merupakan hewan endemik yang berasal dari pulau Komodo, Rinca, Flores, dan Gili Motang, Nusa Tenggara Timur di Indonesia. Seperti yang kita ketahui juga, kawasan asli tempat Komodo hidup saat ini telah menjadi Taman Nasional, yang seharusnya menjadi kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.

The Komodo Dragon di Pulau Komodo (wikipedia)

Tapi belakangan, khalayak banyak membicarakan sekaligus mengkritik ambisi penguasa untuk mengubah Pulau Komodo menjadi tempat wisata sekaliber ‘Jurassic Park’. Oleh karena proyek yang terlampau ambisius itu, muncul wacana pemerintah untuk merelokasi masyarakat asli Pulau Komodo ke tempat lain. Masyarakat sana menolak. Tapi pemerintah tetap melancarkan rencananya, biar reaksi bermunculan. Apalagi, beberapa hari lalu juga sempat ramai penampakan foto yang, setidaknya bagi saya, benar-benar ironic: foto kendaraan truk besar yang dihadang oleh seekor Komodo. Apa kesan kalian waktu pertama kali melihat foto tersebut? Kalau saya, sih, ngeri.

Komodo menghadang truk besar yang mengangku peralatan untuk pembangunan proyek ambisius pemerintah di Pulau Komodo. (Instagram @kawanbaikkomodo)

Kehidupan Komodo di masa lalu memanglah buas. Hewan purba tersebut sudah ada di muka bumi sejak lama dan menjalani kehidupan yang ganas dan penuh persaingan untuk saling bertahan hidup. Memangsa atau dimangsa, Komodo bertahan dan mampu ada sampai dengan sekarang. Bayi Komodo dituntut sudah harus belajar menyelamatkan diri dari Komodo lain, bahkan dari ibunya sendiri, yang tak musthail bisa memangsanya kapanpun. Mereka harus memanjat pohon untuk menyelamatkan dirinya. Setelah dewasa sedikit, sekitar 1 tahun kemudian, ia akan turun dari pohon dan memulai kehidupannya sebagai pemburu untuk bertahan hidup. Jadi bisa bayangkan bukan bagaimana dalam waktu yang tidak sebentar para Komodo tersebut bertahan hidup sampai dengan sekarang?

BacaJuga

Ngaliwet, Mengenal Solidaritas Masyarakat Sunda

Perkawinan Adat Menarik Masyarakat Suku Sasak

Mesuryak, Tradisi Unik di Hari Raya Kuningan

Menyempurnakan Kematian di Tana Toraja

Pemerintah berencana untuk membuat wisata liar di Pulau Komodo, sesuai dengan sifat asli Komodo. Kata Gubernur setempat, hewan itu menjadi lebih jinak karena hidup berdampingan dengan masyarakat sana. Adapun kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) yang merupakan suatu kawasan yang terdiri dari pulau-pulau ini, di antaranya ada pulau yang berpenghuni dan ada juga yang tidak. Di antaranya pulau-pulau yang berpenghuni adalah Pulau Komodo Desa Komodo, Pulau Rinca Desa Pasir Panjang, dan Pulau Papagrang Desa Papagarang.

Masyarakat Pulau Komodo menolak untuk dipisahkan dan direlokasi ke tempat lain. Bagi mereka, Komodo, bagaimana pun besarnya risiko hidup berdampingan dengan hewan itu, adalah ‘saudara sedarah’. Bagi saya, ini merupakan pernyataan dan sikap yang menarik dan sekaligus penuh perenungan yang mungkin bisa kita temukan jawabannya ke perjalanan masa lalu tentang Komodo dan masyarakat yang hidup berdampingan dengannya di masa lampau.

Beberapa Keterangan Asal-Usul Masyarakat Pulau Komodo

Foto penduduk masyarakat Pulau Komodo (Antaranews.com)

Penduduk Komodo menyebut dirinya ata Modo, yaitu ‘orang Modo’; pulaunya mereka sebut tana Modo; dan bahasanya mereka namakan wana Modo (Verheijen, 1982). Dalam sejarah perkembangannya yang panjang, ada beberapa versi tentang bagaimana Pulau Komodo dan masyarakatnya berkembang.

Diceritakan bahwa pada masa yang lampau, yang tidak diketahui pasti kapan waktunya, di Tanah Komodo (baca: sekarang Pulau Komodo) hanya hidup orang Komodo saja. Mereka tidak mengetahui cara melahirkan anak (wita baé jo siré cara-né losa anaq) yang dikandung para ibu di sana. Biasanya, mereka melahirkan dengan cara dibedah: sang ibu meninggal, sang anak selamat.

Pada suatu hari, ada seorang perempuan yang melahirkan dua anak sekaligus. Pada buku Pulau Komodo Tanah, Rakyat, dan Bahasanya (1982) diketahui siapa nama perempuan tersebut–yang pasti perempuan itu adalah orang asli Suku Komodo. Dalam beberapa sumber lain yang diperoleh dari wawancara, diketahui perempuan itu bernama Putri Naga (ratu ular) atau nama lainnya adalah Muria. Begitu cerita lisan yang berkembang di masyarakat.

Ibu yang melahirkan dua anak itu dikisahkan meninggal. Adapun anak yang dilahirkan adalah satu berupa Ora (varanus) atau Komodo Betina dan seorang lagi adalah seorang manusia. Sang Ayah merawat anaknya yang manusia dengan baik, sedangkan Ora, yang juga merupakan anaknya, dibiarkannya pergi ke hutan. Dalam cerita disebutkan bahwa Ora, anak yang berupa Komodo Betina, diberi nama Sebinci (Si Sebelah) oleh ibunya alias ibu piaranya (tidak diketahui jelas siapa).

Lalu Sang Ayah diceritakan memperistri perempuan lain. Dan istrinya tersebut kembali hamil. Saat semakin membesar perut istrinya, lalu ada orang dari Sumba (ata Sumba). Orang Sumba membantu perempuan tersebut lahiran, tanpa harus melalui proses bedah yang dapat menyebabkan Sang Ibu terbunuh. Dengan bantuan orang Sumba tersebut, yang ternyata adalah seorang dukun, maka Sang Anak lahir dengan selamat dan Sang Ibu pun demikian. Setelah kejadian itu, ata Sumba tersebut diminta untuk tinggal di Pulau Komodo. Dan yang ditawari pun mengiyakan.

Setelah kedatangan orang Sumba ke pulau Komodo, berlanjutlah beberapa pendatang lain. Adaata mai rété maing Manggarai atau orang dari pegungungan Manggarai, ata Amgong atau orang Ambon, ata Sapé atau orang Sape (Bima), ata Kapu atau orang Kapu (untuk yang ini tidak begitu jelas di mana lokasinya), dan seterusnya sampai dengan sekarang sulit memilah mana suku asli Komodo dan mana yang dulunya adalah pendatang.

Ada lagi beberapa kisah lain tentang bagaimana awal mula Pulau Komodo dan Masyarakatnya. Kisah tersebut berkembang secara lisan, diturun-temurunkan dari generasi ke generasi. Dulu sekali, menurut Pak Ishaka Mansyur (67 tahun) kepada Sunspirit for Justice and Peace menuturkan bahwa Pulau Komodo merupakan tempat persinggahan orang-orang dari Bima melalui selat Sape, salah satunya yang pernah singgah di sana adalah Raja Bima bernama Sultan Hamid Abdullah.

Kemudian berkembang cerita di masyarakat bahwa Sultan Hamid Abdullah inilah yang kemudian menikah dengan Putri Naga (Ratu Ular) atau nama lainnya adalah Muriati. Serupa dengan kisah sebelumnya, menurut pak Ishaka ini Putri Naga kemudian melahirkan 2 anak–yang 1 adalah manusia dan yang 1 lagi adalah seekor Komodo, persis kisah sebelumnya.

Akan tetapi, ada juga berkembang cerita lain. Diceritakan bahwa orang Komodo asli yang pertama kali tinggal di Desa Komodo adalah Mpu Najo yang menikahi Putri Naga atau nama lainnya Naga Luri. Cerita memiliki kesamaan dengan kisah sebelumnya. Dan mungkin Mpu Najo yang dimaksudkan dalam kisah ini adalah Sultan Hamid Abdullah, sedangkan Naga Luri atau Putri Naga juga sama dengan Putri Naga atau Ratu Ular atau Muriati yang dikisahkan sebelumnya.

Lalu ada lagi satu versi cerita lain yang serupa dengan cerita awal. Cerita ini datang dari Pak Saeh, seorang pemahat patung Komodo, yang dikumpulkan oleh Sunspirit for Justice and Peace. Menurut penuturannya, dulu sekali di Desa Komodo terdapat suku-suku yang pertama tinggal di sana, yaitu ada (1) Suku Komodo, yaitu Mpu Najo; (2) Suku Welak dari Manggarai dan Suku Atalabo; (3) Suku Sumba; dan (4) Suku Bima. Kemudian diceritakan bahwa Mpu Najo dari Suku Manado menikahi perempuan dari Suku Welak.

Dari pernikahan tersebut, perempuan itu hamil. Tapi pada masa itu ada kebiasaan kalau perempuan yang sedang mengandung biasanya perutnya dibelah (mungkin maksudnya di sini adalah cara melahirkan seperti kisah di awal). Mpu Najo pergi ke tepi pantai karena tidak mau menyaksikan perut istrinya dibelah. Tapi beruntung, ia bertemu dengan orang Sumba yang kemudian membantu istrinya melahirkan. Lalu lahirlah dua anak seperti cerita sebelumnya, yaitu 1 anak manusia dan 1 Komodo.

Mengapa Upaya Pemerintah Merelokasi Masyarakat Pulau Komodo adalah Hal yang Sia-Sia?

Pula Komodo pada tahun 2016.
Suasana Desa Komodo, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Jumat (1/9). Desa Komodo merupakan salah satu desa yang berada di Kawasan Taman Nasional Komodo, Pulau Komodo,. Berdasarkan data tahun 2016, ada 1.719 jiwa yang tinggal di Desa Komodo.(Kompas/Heru Sri Kumoro)

Berdasarkan beberapa uraian kisah yang memiliki berbagai variasi tersebut, kita dapat tahu sudah sejak dulu kehidupan keduanya, antara masyarakat dan Komodo yang hidup berdampingan, tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Risiko apapun yang muncul, tidak akan mempan mengubah kesadaran kolektif masyarakat Pulau Komodo yang telah secara turun-temurun diwariskan. Kesadaran kolektif tersebut yang bermula dari sebuah keyakinan yang terbentuk lewat folklor lisan dari para pendahulu telah menjelma ikatan yang kuat.

James Danandjaja (1986), dalam bukunya Folklor Indonesia (Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain), mengungkapkan bahwa folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar–dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).

Berdasarkan definisi yang cukup panjang itu, kita bisa tahu kalau kisah tentang munculnya Komodo telah menjadi kesadaran kolektif. Dengan kata lain, telah menjelma sebagai budaya, yang meresap ke dalam sari-sari kehidupan masyarakat Pulau Komodo sejak lampau. Kita tidak bisa memungkiri itu. Tidak bisa memungkiri bahwa dalam keyakinan banyak orang di Pulau Komodo, hewan bernama Komodo adalah bagian dari saudara sekaligus keluarga mereka. Hewan bernama Komodo yang dulunya adalah seorang anak yang lahir dari seorang pendahulu, kalau tidak kita sebut sebagai nenek moyang, yang merupakan masyarakat asli dan sekaligus (mungkin karena tidak diketahui pasti) angkatan pertama yang tinggal di Pulau Komodo.

Cerita tentang Putri Naga, Ratu Ular, Ratu Naga, atau Muriati, yang kemudian beranak dengan Mpu Najo adalah, setidaknya bagi saya, manifestasi dari kelahiran peradaban Pulau Komodo, atau bisa kita katakan sebagai penanda awal. Belum lagi, dalam kisah di atas, Komodo yang lahir dari perempuan Mpu Najo yang dikisahkan adalah Komodo betina alias perempuan. Kalau boleh secara serampang menyandingkan citra betina dan perempuan, mungkin kisah tersebut menjadi manifestasi dari ‘ibu yang menjaga’ pulau Komodo tetap berjalan sebagaimana mestinya, seperti yang telah berlangsung bertahun-tahun silam. Oleh karenanya, masyarakat Pulau Komodo enggan jauh dari ‘ibu yang menjaga’, bagaimana pun risiko yang ada.

Kalau boleh berpendapat, Komodo dan masyarakat di Pulau Komodo adalah satu kesatuan Mikrokosmos dalam Makrokosmos bernama Pulau Komodo. Saat salah satunya dipisahkan, pasti akan terjadi ketidakseimbangan. Komodo dan masyarakat di Pulau Komodo adalah kawan. Bahkan dalam beberapa sumber diperoleh info bahwa tidak jarang masyarakat berbagi makanan hasil buruan dengan para Komodo.

Mungkin beberapa di antara kita ada yang berpendapat bahwa memang Komodo perlu dipisahkan dari perkampungan agar proses konservasi berjalan lebih alamiah. Bisa jadi benar. Tapi, tidak benar kalau kemudian dibangun berbagai fasilitas pariwisata yang berlebihan, yang berpihak pada korporasi atau pemilik modal saja, sedangkan masayrakat asli sana akan terpinggiran. Dalam banyak kasus tata kelola suatu tempat, di negara kota, seringkali demikian. Tentu itu simpulan yang prematur. Apakah kalian punya pendapat lain?

Tags: folklor indonesiamasyarakat komodopulau komodo

Berlangganan Nawala Kami!

Dapatkan kabar terbaru keberagaman budaya lokal di seluruh penjuru Indonesia.

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

ngaliwet
Barat

Ngaliwet, Mengenal Solidaritas Masyarakat Sunda

Mei 11, 2022
Perkawinan Adat Menarik Masyarakat Suku Sasak
Tengah

Perkawinan Adat Menarik Masyarakat Suku Sasak

September 12, 2021
Mesuryak, Tradisi Unik di Hari Raya Kuningan
Tengah

Mesuryak, Tradisi Unik di Hari Raya Kuningan

April 30, 2021
Lokalisme Logo - Dark Mode Retina

Rubrik

  • Barat
  • Tengah
  • Timur
  • Warlok

tENTANG kAMI

  • Siapa Kami
  • Tim Kerja
  • Kontributor
  • Kolaborasi

Kebijakan

  • F.A.Q
  • Kebijakan Privasi

Temui Kami

  • Jl. Kebahagiaan No. 15A, Pasir Gunung Selatan, Depok
  • media.lokalis@gmail.com
  • +62 898 9771 660

© Lokal.Is.Me – 2020

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Tentang Kami
    • Siapa Kami
    • Tim Kerja
  • Barat
  • Tengah
  • Timur
  • Warlok
  • Berkontribusi

© 2020 - Lokal.Is.Me