Rasanya tak lengkap jika berkumpul dengan kawan tanpa menikmati secangkir kopi, bukan? Kini kebersamaan seringkali diasosiasikan dengan ‘nongkrong’ di warung kopi. Namun, bagaimana jika kebersamaan kini diasosiasikan dengan suasana yang sedikit berbeda? Masyarakat di Karangasem, Bali, memiliki tradisi unik yang identik dengan istilah Bali ‘sareng-sareng’ atau bersama-sama. Tradisi ini seringkali ditemui di beragam kegiatan upacara tradisional Bali seperti upacara Manusa Yadnya berupa pernikahan dan upacara lainnya. Megibung adalah tradisi di daerah Karangasem yang tidak hanya tentang mengisi perut, tetapi juga tentang kebersamaan tanpa memandang status sosial.

Foto oleh: Kartika D. Suardana, melalui: https://nowbali.co.id/megibung-balis-traditional-family-meal/
Tradisi Megibung di Karangasem berawal pada tahun 1614 Caka (tahun 1692 Masehi), ketika Raja ke-VII Karangasem memerintahkan prajuritnya untuk ‘megibung’. Raja ke-VII Karangasem yang bernama I Gusti Anglurah Ketut Karangasem kala itu berperang dan berupaya menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sasak (kini Lombok) sebagai daerah kekuasaannya. Usai berperang, Sang Raja kala itu memberikan perintah kepada para prajuritnya yang tengah beristirahat untuk makan bersama-sama dari satu wadah yang sama, atau dikenal dengan ‘megibung’. Istilah ‘megibung’ sendiri berasal dari kata gibung dalam Bahasa Bali, yang dapat diartikan dengan ‘berbagi bersama’. Sang Raja akhirnya menikmati megibung bersama prajuritnya, tanpa memandang status sosial. Meski zaman perlahan berubah, tradisi megibung masih tetap eksis hingga kini. Tidak hanya di Karangasem, tetapi juga di Bali secara keseluruhan.

Megibung ini dapat membuat perut kenyang dan hati senang, loh! Salah satu ciri khas dari megibung terletak pada gibungannya. Secara tradisional, ‘gibungan’ adalah hidangan yang tersusun dari selembar alas berupa daun pisang dan dipenuhi dengan nasi serta lauk pauk, kemudian dapat disajikan di atas nampan atau dulang. Lauk pauk dalam megibung ini terdiri dari masakan tradisional Bali yang terdiri dari hidangan seperti sayur urab, lawar dan sate yang disebut ‘karangan’. Hidangan inilah yang kemudian dinikmati secara berkelompok bersama dalam satu lembar yang sama!
Jadi, apa yang membuat tradisi ini mencerminkan kebersamaan? Megibung ini terdiri dari kelompok sele! Kelompok yang disebut dengan ‘sele’ adalah mereka yang bergabung dan duduk bersama untuk menyiapkan dan menikmati hidangan dalam megibung. Mulanya, satu sele harus terdiri dari delapan orang. Namun, kini satu sele dapat terdiri dari 4 hingga 7 orang. Mereka duduk bersila membentuk lingkaran, tanpa memandang status sosial ataupun kasta yang dinilai memiliki pengaruh yang cukup kuat di Bali. Salah satu sele akan menyiapkan gibungan dengan urutan penataan hidangan tertentu. Pertama dimulai dari hidangan urab, kemudian lawar, hingga yang terakhir adalah balah. Tidak hanya asal menyusun saja, ya!

Ternyata, aturan dalam megibung tidak berhenti sampai menyusun hidangan saja! Terdapat tata tertib serta aturan selama menikmati hidangan yang harus dipatuhi dalam megibung. Sebelum dinikmati, nasi gibungan harus diambil dengan dikepal menggunakan tangan. Selanjutnya, barulah sele dapat mengambil karangan. Megibung ini juga tidak memperbolehkan sisa makanan dari mulut berjatuhan kesana kemari di atas nampan, melainkan dibuang dalam sebidang wadah kecil yang umumnya berupa daun pisang. Secara tradisional, minuman berupa air disediakan di dalam kendi tanah liat. Lalu, bagaimana cara meminumnya? Caranya adalah dengan meneguk dari ujung kendi, atau disebut ‘nyeret’. Seiring perubahan zaman, air dalam megibung kini dapat digantikan dengan air dalam kemasan. Lebih modern dan simpel, ya!
Jadi, apa masih ada aturan lainnya? Ya, tentu saja! Menurut salah satu warga desa di Karangasem, para sele tidak boleh melakukan hal yang lancang seperti meludah, bersin sembarang dan berbicara serta bersuara dengan keras. Ketika menikmati hidangan megibung, para sele tidak boleh asal meninggalkan lingkaran. Mereka harus menunggu sesama hingga selesai menikmati hidangannya. Karena makan ini dimulai bersamaan, maka makan ini juga harus diakhiri bersamaan! Dari sini, kita dapat melihat eratnya rasa kebersamaan yang dijunjung, bukan? Jadi, kebersamaan kini bukan tentang nongkrong dan ngopi saja, ya. Lain kali kita coba megibung, yuk!
Sumber:
https://nowbali.co.id/megibung-balis-traditional-family-meal/