
Hai warlok, kamu tahu nggak kalau budaya Jawa, terkenal banget sama budayanya yang filosofis? Yap, mulai dari memaknai setiap unsur kehidupannya, budaya Jawa itu sangat menjunjung tinggi tata krama, dan juga nilai-nilai kesopanan. Nah, di Jawa sendiri, masih banyak masyarakat yang menjunjung tinggi ajaran-ajaran leluhur terlepas dari berkembangnya zaman, untuk dijadikan pegangan hidup. Nggak heran kalau banyak pelajaran bijak yang bisa kita petik dari nasihat-nasihat ini. Berikut ini adalah hal-hal yang bisa kita teladani dari petuah-petuah leluhur masyarakat Jawa.
Aja Pijer Mangan Nendra
Arti dari nasihat ini adalah hidup jangan hanya makan dan tidur. Seperti yang kita ketahui, kata “rebahan” sudah menjadi kata di kamus kita khususnya anak muda dalam menjalani kegiatan sehari-hari. Ajaran ini mengungkapkan jangan hanya mengutamakan makan dan tidur, karena jika terlalu banyak makan dan tidur, tubuh kita akan sangat lamban dalam bergerak. Bukan cuma itu, tapi juga menimbulkan penyakit, tidak produktif, dan membuat pikiran tumpul. Hal tersebut membuat kita kalah bersaing dan tersisihkan dalam kehidupan.
Jarit Lawas Ing Sampiran
Artinya, kain menjadi kusam karena terlalu lama berada di gantungan. Sehebat apapun seseorang, sepandai apapun seseorang, jika tidak mengajarkan, menyebarkan, dan mempraktekkan ilmu yang dimilikinya akan sia-sia saja. Begitulah makna dari ajaran jarit lawas ing sampiran. Jadilah orang-orang yang bermanfaat bagi sesama, mengajarkan sesama, dan menebarkan kebaikan bagi sesama, karena sejatinya ‘orang yang berbagi’ tidak akan pernah kekurangan dalam hidupnya.
Jer Basuki Mawa Beya
Semua cita-cita, keinginan dan harapan memerlukan perjuangan dan pengorbanan dalam setiap langkah. Nasihat ini sering dilontarkan dari para orang tua kepada anak-anaknya, dengan maksud semua yang diimpikan dan diharapkan pasti butuh pengorbanan dalam bentuk apapun, tergantung besar kecilnya impian kita.
Donya Ora Mung Sagodhong Kelor
Ungkapan ini ditujukan bagi orang yang sedang patah hati. Donya ora mung sagodhong kelor, dunia tidak hanya seluas daun kelor. Artinya, jika sedang galau, bersedih, atau gundah, janganlah berlarut-larut. Karena dunia ini isinya tidak hanya itu-itu melulu, selama masih ada harapan untuk hari esok, masih ada kesempatan yang akan datang, dan masih ada waktu untuk memperbaiki semuanya, tidak perlu kita bersedih terlalu lama.
Kridhaning Ati Ora Bisa Mbedhah Kuthaning Pasti, Budi Dayane Manungsa Ora Bisa Ngungkuli Garise Kang Kuwasa
“Gejolak jiwa tak dapat mengubah kepastian, budi daya manusia tak dapat mengungguli takdir dari Sang Kuasa.” Seorang manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, selebihnya Tuhan yang menentukan. Sekuat apapun kita memberontak dan menolak, jika Tuhan berkehendak, seorang manusia hanya bisa menerima takdir yang diberikan. Karena itu, kita dituntut untuk selalu percaya kepada Tuhan, bagaimanapun usaha dan doa yang telah kita curahkan, seorang manusia hanya bisa berharap yang terbaik kepada Sang Kuasa. Karena kepasrahan dan keikhlasanlah yang membuat kita tenteram dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Kendel Ngringkel, Dhadhag Ora Godag
Artinya, berani ternyata meringkuk, tangguh nyatanya tidak bisa. Ajaran ini ditujukan bagi orang yang suka membual, menyombongkan dirinya sendiri, kepandaiannya, dan kelihaiannya. Namun, hal tersebut sebatas ucapannya saja. Ketika ada orang lain yang meminta tolong, mereka lari dengan beribu alasan. Karena pada dasarnya mereka haus akan pujian dan tidak memiliki apa yang telah ia sombongkan.
Kere Nemoni Malem
Ungkapan ini merupakan sindiran bagi orang-orang yang tidak tahu tata krama. Arti ajaran ini sendiri yaitu gelandangan yang mendapati pesta meriah. Gelandangan sendiri dilambangkan orang miskin yang jarang sekali merasakan pesta, karena itu saking bahagianya, ia langsung saja menyerbu tanpa melihat kanan-kiri dan orang sekitarnya. Tentu saja, hal tersebut sangat memalukan. Karena itu, siapapun kita, bagaimanapun keadaan kita, ada baiknya tetap menjunjung tinggi tata krama dalam menghadapi berbagai macam situasi.
Digdaya Tanpa Aji
Hebat tanpa harus memilki jimat. Maknanya, menjadi hebat itu tidak perlu melakukan kecurangan, tidak perlu kekerasan, tidak perlu diwarnai keburukan. Tapi, mampu mengatasi masalahnya dengan kemampuannya. Melangkah untuk menuju hebat sebaiknya diiringi dengan membantu sesama, menebar kasih sayang dan kebaikan budi. Untuk menjadi digdaya tanpa aji, kita perlu melewati proses yang menyakitkan, proses susah, yang pada akhirnya menjadi kebanggaan tersendiri setelah melewati itu semua.
Ajining Dhiri Ana Lathi, Ajining Raga Ana Busana, Ajining Awak Ana Tumindak
Ungkapan yang satu ini tidaklah asing bagi kita. Ketika mendengar salah satu lagu ciptaan Weird Genius yang berjudul LATHI, salah satu liriknya berkata “Kowe ora iso mlayu, saka kesalahan ajining dhiri ana ing lathi.” Apa artinya? “Kamu tidak bisa lari dari kesalahanmu, karena sejatinya harga diri seseorang terletak di lidahnya.”
Ajining dhiri ana lathi, berartikan harga diri terletak di lidah, ditentukan oleh perkataan. Karena itu kita perlu menjaga lidah (lathi) kita agar jangan sampai berucap kotor hingga menyakiti seseorang. Apalagi di tengah arus informasi yang begitu deras dan mudahnya kita untuk berkomentar di media sosial.
Ajining raga ana busana, artinya harga diri terletak pada pakaian yang dikenakan. Walaupun seseorang tidak bisa dinilai dari fisiknya saja, ada baiknya kita berpakaian sesuai dengan kondisi kita dan situasi di sekitar.
Ajining awak ana tumindak, yang artinya harga diri dari seseorang dilihat dari kelakuannya. Sikap dan perilaku seseorang akan menentukan nilai dari orang itu sendiri. Tanpa disadari kelakuan kita sendirilah yang menjadi cerminan hidup kita. Jika kita bersikap baik dan sopan, orang akan menghormati dan menghargai. Sebaliknya, jika kita bersikap buruk, orang lain pun tak ragu untuk merendahkan kita bahkan memberikan label buruk kepada kita.
Referensi:
Kuntari, Umi. 2010. Kata-kata Super Motivasi Bijak Leluhur Jawa. Yogyakarta: Eule Book.