Lokalisme
  • Tentang Kami
    • Siapa Kami
    • Tim Kerja
  • Barat
  • Tengah
  • Timur
  • Warlok
  • Berkontribusi
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Lokalisme
  • Tentang Kami
    • Siapa Kami
    • Tim Kerja
  • Barat
  • Tengah
  • Timur
  • Warlok
  • Berkontribusi
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Lokalisme
  • Barat

Ajaran-Ajaran Bijak Leluhur Jawa yang Bisa Dijadikan Pegangan Hidup

  • Januari 18, 2021
  • Talitha
Share on FacebookShare on Twitter

BacaJuga

Ngaliwet, Mengenal Solidaritas Masyarakat Sunda

4 Pesona Desa Wisata di Sumbar yang Masuk Ke Daftar ADWI 2022, Wajib Kamu Kunjungi!

Silek, Seni Bela Diri Khas Minangkabau

Tradisi Megibung, Mencicipi Kebersamaan Tanpa Batasan Status Sosial

pepatah jawa
Melestarikan budaya dan nilai-nilainya adalah hal yang sangat penting. sumber: idntimes.com

Hai warlok, kamu tahu nggak kalau budaya Jawa, terkenal banget sama budayanya yang filosofis? Yap, mulai dari memaknai setiap unsur kehidupannya, budaya Jawa itu sangat menjunjung tinggi tata krama, dan juga nilai-nilai kesopanan. Nah, di Jawa  sendiri, masih banyak masyarakat yang menjunjung tinggi ajaran-ajaran leluhur terlepas dari berkembangnya zaman, untuk dijadikan pegangan hidup. Nggak heran kalau banyak pelajaran bijak yang bisa kita petik dari nasihat-nasihat ini. Berikut ini adalah hal-hal yang bisa kita teladani dari petuah-petuah leluhur masyarakat Jawa. 

Aja Pijer Mangan Nendra 

Arti dari nasihat ini adalah hidup jangan hanya makan dan tidur. Seperti yang kita ketahui, kata “rebahan” sudah menjadi kata di kamus kita khususnya anak muda dalam  menjalani kegiatan sehari-hari. Ajaran ini mengungkapkan jangan hanya mengutamakan makan dan tidur, karena jika terlalu banyak makan dan tidur, tubuh kita akan sangat lamban dalam bergerak. Bukan cuma itu, tapi juga menimbulkan penyakit, tidak produktif, dan membuat pikiran tumpul. Hal tersebut membuat kita kalah bersaing dan tersisihkan dalam kehidupan.  

Jarit Lawas Ing Sampiran 

Artinya, kain menjadi kusam karena terlalu lama berada di gantungan. Sehebat apapun seseorang, sepandai apapun seseorang, jika tidak mengajarkan, menyebarkan, dan mempraktekkan ilmu yang dimilikinya akan sia-sia saja. Begitulah makna dari ajaran jarit  lawas ing sampiran. Jadilah orang-orang yang bermanfaat bagi sesama, mengajarkan sesama, dan menebarkan kebaikan bagi sesama, karena sejatinya ‘orang yang berbagi’  tidak akan pernah kekurangan dalam hidupnya. 

Jer Basuki Mawa Beya 

Semua cita-cita, keinginan dan harapan memerlukan perjuangan dan pengorbanan dalam setiap langkah. Nasihat ini sering dilontarkan dari para orang tua kepada anak-anaknya, dengan maksud semua yang diimpikan dan diharapkan pasti butuh pengorbanan dalam bentuk apapun, tergantung besar kecilnya impian kita.  

Donya Ora Mung Sagodhong Kelor

Ungkapan ini ditujukan bagi orang yang sedang patah hati. Donya ora mung sagodhong kelor, dunia tidak hanya seluas daun kelor. Artinya, jika sedang galau,  bersedih, atau gundah, janganlah berlarut-larut. Karena dunia ini isinya tidak hanya itu-itu melulu, selama masih ada harapan untuk hari esok, masih ada kesempatan yang akan datang, dan masih ada waktu untuk memperbaiki semuanya, tidak perlu kita bersedih terlalu lama.  

Kridhaning Ati Ora Bisa Mbedhah Kuthaning Pasti, Budi Dayane Manungsa Ora Bisa Ngungkuli Garise Kang Kuwasa 

“Gejolak jiwa tak dapat mengubah kepastian, budi daya manusia tak dapat mengungguli takdir dari Sang Kuasa.” Seorang manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, selebihnya Tuhan yang menentukan. Sekuat apapun kita memberontak dan menolak, jika Tuhan berkehendak, seorang manusia hanya bisa menerima takdir yang diberikan. Karena itu, kita dituntut untuk selalu percaya kepada Tuhan, bagaimanapun usaha dan doa yang  telah kita curahkan, seorang manusia hanya bisa berharap yang terbaik kepada Sang Kuasa. Karena kepasrahan dan keikhlasanlah yang membuat kita tenteram dalam menjalani kehidupan sehari-hari.  

Kendel Ngringkel, Dhadhag Ora Godag 

Artinya, berani ternyata meringkuk, tangguh nyatanya tidak bisa. Ajaran ini ditujukan bagi orang yang suka membual, menyombongkan dirinya sendiri,  kepandaiannya, dan kelihaiannya. Namun, hal tersebut sebatas ucapannya saja. Ketika ada orang lain yang meminta tolong, mereka lari dengan beribu alasan. Karena pada dasarnya mereka haus akan pujian dan tidak memiliki apa yang telah ia sombongkan. 

Kere Nemoni Malem 

Ungkapan ini merupakan sindiran bagi orang-orang yang tidak tahu tata krama.  Arti ajaran ini sendiri yaitu gelandangan yang mendapati pesta meriah. Gelandangan sendiri dilambangkan orang miskin yang jarang sekali merasakan pesta, karena itu saking  bahagianya, ia langsung saja menyerbu tanpa melihat kanan-kiri dan orang sekitarnya. Tentu saja, hal tersebut sangat memalukan. Karena itu, siapapun kita, bagaimanapun keadaan kita, ada baiknya tetap menjunjung tinggi tata krama dalam menghadapi berbagai macam situasi. 

Digdaya Tanpa Aji 

Hebat tanpa harus memilki jimat. Maknanya, menjadi hebat itu tidak perlu melakukan kecurangan, tidak perlu kekerasan, tidak perlu diwarnai keburukan. Tapi,  mampu mengatasi masalahnya dengan kemampuannya. Melangkah untuk menuju hebat sebaiknya diiringi dengan membantu sesama, menebar kasih sayang dan kebaikan budi. Untuk menjadi digdaya tanpa aji, kita perlu melewati proses yang menyakitkan, proses susah, yang pada akhirnya menjadi kebanggaan tersendiri setelah melewati itu semua.  

Ajining Dhiri Ana Lathi, Ajining Raga Ana Busana, Ajining Awak Ana Tumindak 

Ungkapan yang satu ini tidaklah asing bagi kita. Ketika mendengar salah satu lagu ciptaan Weird Genius yang berjudul LATHI, salah satu liriknya berkata “Kowe ora iso mlayu, saka kesalahan ajining dhiri ana ing lathi.” Apa artinya? “Kamu tidak  bisa lari dari kesalahanmu, karena sejatinya harga diri seseorang terletak di lidahnya.” 

Ajining dhiri ana lathi, berartikan harga diri terletak di lidah, ditentukan oleh perkataan.  Karena itu kita perlu menjaga lidah (lathi) kita agar jangan sampai berucap kotor hingga menyakiti seseorang. Apalagi di tengah arus informasi yang begitu deras dan mudahnya kita untuk berkomentar di media sosial.  

Ajining raga ana busana, artinya harga diri terletak pada pakaian yang dikenakan. Walaupun seseorang tidak bisa dinilai dari fisiknya saja, ada baiknya kita berpakaian sesuai dengan kondisi kita dan situasi di sekitar.  

Ajining awak ana tumindak, yang artinya harga diri dari seseorang dilihat dari kelakuannya. Sikap dan perilaku seseorang akan menentukan nilai dari orang itu sendiri. Tanpa disadari kelakuan kita sendirilah yang menjadi cerminan hidup kita. Jika kita bersikap baik dan sopan, orang akan menghormati dan menghargai. Sebaliknya, jika kita  bersikap buruk, orang lain pun tak ragu untuk merendahkan kita bahkan memberikan label buruk kepada kita.  

Referensi: 

Kuntari, Umi. 2010. Kata-kata Super Motivasi Bijak Leluhur Jawa. Yogyakarta: Eule Book.

Tags: indonesia baratkearifan lokalnilai budayapepatah jawa

Berlangganan Nawala Kami!

Dapatkan kabar terbaru keberagaman budaya lokal di seluruh penjuru Indonesia.

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

ngaliwet
Barat

Ngaliwet, Mengenal Solidaritas Masyarakat Sunda

Mei 11, 2022
desa wisata sumbar
Barat

4 Pesona Desa Wisata di Sumbar yang Masuk Ke Daftar ADWI 2022, Wajib Kamu Kunjungi!

April 8, 2022
Silek, Seni Bela Diri Khas Minangkabau
Barat

Silek, Seni Bela Diri Khas Minangkabau

Maret 31, 2022
Lokalisme Logo - Dark Mode Retina

Rubrik

  • Barat
  • Tengah
  • Timur
  • Warlok

tENTANG kAMI

  • Siapa Kami
  • Tim Kerja
  • Kontributor
  • Kolaborasi

Kebijakan

  • F.A.Q
  • Kebijakan Privasi

Temui Kami

  • Jl. Kebahagiaan No. 15A, Pasir Gunung Selatan, Depok
  • media.lokalis@gmail.com
  • +62 898 9771 660

© Lokal.Is.Me – 2020

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Tentang Kami
    • Siapa Kami
    • Tim Kerja
  • Barat
  • Tengah
  • Timur
  • Warlok
  • Berkontribusi

© 2020 - Lokal.Is.Me